Monday, December 17, 2012

KAKI DIABETIK

BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah suatu syndrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemi yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes, yang akan menjadi topik bahasan utama kali ini.
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) sering disebut the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh seperti otak (stroke), ginjal (gagal ginjal), jantung, mata, kaki (gangren diabetik). Gejala DM dapat timbul perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari adanya perubahan pada dirinya seperti minum menjadi lebih banyak (polidipsi), buang air kecil lebih sering (poliuri), makan lebih banyak (polifagi) ataupun berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
     Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis terjadinya komplikasi DM. Di antaranya adalah teori jalur poliol, teori glikosilasi dan terakhir adalah teori stress oksidatif. Apapun teori ysng dianut semuanya masih berpangkal pada hiperglikemi, manfaat usaha menormalkan konsentrasi glukosa darah untuk mencegah DM Tipe 2 sudah terbukti pada berbagai penelitian epidemiologis skala besar.
    Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1996 di dunia terdapat 120 juta penderita diabetes mellitus yang diperkirakan naik dua kali lipat pada tahun 2025. Kenaikan ini disebabkan oleh pertambahan umur, kelebihan berat badan (obesitas), dan gaya hidup.
Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah, debridemen/membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan obat-obat vaskularisasi serta amputasi.9 Komplikasi kaki diabetik adalah penyebab amputasi ekstremitas bawah nontraumatik yang paling sering terjadi di dunia industri. Sebagian besar komplikasi kaki diabetik mengakibatkan amputasi yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi ekstremitas bawah 15 – 46 kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes mellitus. Lagi pula komplikasi kaki adalah alasan tersering rawat inap pasien dengan diabetes, berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes di Amerika Serikat dan Inggris.
     I. 2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka ditarik permasalahan sebagai berikut :
Apa saja yang berkaitan dengan kaki diabetik mengenai :
- Definisi kaki diabetik
- Faktor risiko terjadinya kaki diabetik
- Patofisiologi dan patogenesis kaki diabetik
- Klasifikasi kaki diabetik
- Penanggulangan dan pencegahan kaki diabetes
I. 3. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan kaki diabetik serta penanggulangan dan pencegahannya.
I. 4. Manfaat
Pembaca diharapkan dapat memahami dan mengetahui kaki diabetik, serta penanggulangan dan pencegahannya sehingga diharapkan dapat melakukan usaha-usaha promosi dan preventif terhadap salah satu komplikasi dari diabetes mellitus.

BAB II
ANALISIS MASALAH
II.1  DEFENISI
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang paling ditakuti hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan, sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Disamping itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat rendah, lagi pula adanya permasalahan pengelolaan pembiayaan yang besar yang tidak terjangkau pada masyarakat pada umumnya.
Kaki diabetik adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Suatu penyakit pada penderita diabetes bagian kaki, dengan gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus).
2. Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil).
3. Nyeri saat istirahat.
4. Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).
Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang.

II.2 PATOFISIOLIGI KAKI DIBETES
    Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang berlangsung lama dan menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan menyebabkan berbagai perubahan pada otot dan kulit, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi pada penderita DM akan menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih  lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.
     Terdapat tiga factor sebagai latar belakang /yang berperan untuk terjadinya KD yaitu : angiopati,neuropati, dan infeksi. Untuk mempermudah pengertian, di bawah ini dapat dilihat bagan dan factor-faktor tersebut

Penyakit Pembuluh Darah Periferal
Penyakit pembuluh darah periferal pada penderita diabetes disebabkan oleh aterosklerosis dan disebut juga dengan aterosklerosis obliterans sering menimbulkan berbagai keluhan. Aterosklerosis yangterjadi bersifat multisegmental dapat mengenai bagian proksimal maupun distal kedua tungkai, pada usia lebih muda dan lebih progresif. Perbandingan laki-laki dan perempuan hampir sama. Penyakit pembuluhdarah peripferal menyebabkan terganggunya suplai oksigen ke sel-sel atau jaringan, transportasi zatmakanan, transportasi antibiotik ke tempat lesi yang terinfeksi, fungsi berbagai mediator hingga kematian sel atau jaringan, sehingga menghambat penyembuhan luka. Penyakit pembuluh darah sering dijumpai pada penderita DM tipe 2 yaitu 8% saat diagnosa diabetes ditegakkan dan 15% setelah menderita diabetes 10 tahun serta 45% setelah menderita diabetes 20 tahun.
A. Kaki Diabetik akibat angiopati / iskemia
Penderita hiperglikemia yang lama akan menyebabkan perubahan patologi pada pembuluh darah. Ini dapat menyebabkan penebalan tunika intima “hiperplasia membran basalis arteria”, oklusi (penyumbatan) arteria, dan hiperkeragulabilitas atau abnormalitas tromborsit, sehingga menghantarkan pelekatan (adhesi) dan pembekuan (agregasi).
Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan lekosit DM tidak normal sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu. Demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid intrasel menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme (bakteri), sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intraseluler. Hal tersebut akan diperoleh lagi oleh tidak saja kekakuan arteri, namun juga diperberat oleh rheologi darah yang tidak normal. Menurut kepustakaan, adanya peningakatan kadar fripronogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit, akan menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat, dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding arteria yang sudah kaku hingga akhirnya terjadi gangguan sirkulasi.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan/tindakan amputasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala akibat penurunan aliran darah ke tungkai meliputi klaudikasi, nyeri yang terjadi pada telapak atau kaki depan pada saat istirahat atau di malam hari, tidak ada denyut popliteal atau denyut tibial superior, kulit menipis atau berkilat, atrofi jaringan lemak subkutan ,tidak ada rambut pada tungkai dan kaki bawah, penebalan kuku, kemerahan pada area yang terkena ketika tungkai diam, atau berjuntai, dan pucat ketika kaki diangkat.
B. Kaki Diabetik akibat neuropati
Pasien diabetes mellitus sering mengalami neuropati perifer, terutama pada pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol.
Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob.
Neuropati diabetik dapat menyebabkan insensitivitas atau hilangnya kemampuan untuk merasakan nyeri, panas, dan dingin. Diabetes yang menderita neuropati dapat berkembang menjadi luka, parut, lepuh, atau luka karena tekanan yang tidak disadari akibat adanya insensitivitas. Apabila cedera kecil ini tidak ditangani, maka akibatnya dapat terjadi komplikasi dan menyebabkan ulserasi dan bahkan amputasi.
Secara klinis dijumpai parestesi, hiperestesi, nyeri radikuler, hilangnya reflek tendon, hilangnya sensibilitas, anhidrosis, pembentukan kalus, ulkus tropik, perubahan bentuk kaki karena atrofi otot ataupun perubahan tulang dan sendi seperti Bunion, Hammer Toes (ibujari martil), dan Charcot Foot. Secara radiologis akan nampak adanya demineralisasi, osteolisis atau sendi Charcot.

Gambar 2. Predileksi paling sering terjadinya ulkus pada kaki diabetik adalah bagian dorsal ibu jari dan bagian proksimal & dorsal plantar metatarsal.
Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya neuropati ditentukan oleh :
o Respon mekanisme proteksi sensoris terhadap trauma
o Macam, besar dan lamanya trauma
o Peranan jaringan lunak kaki
Neuropati perifer pada kaki akan menyebabkan terjadinya kerusakan saraf baik saraf sensoris maupun otonom. Kerusakan sensoris akan menyebabkan penurunan sensoris nyeri, panas dan raba sehingga penderita mudah terkena trauma akibat keadaan kaki yang tidak sensitif ini.
Gangguan saraf otonom disini terutama diakibatkan oleh kerusakan serabut saraf simpatis. Gangguan saraf otonom ini akan mengakibatkan peningkatan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya tonus vaskuler.
Hilangnya tonus vaskuler disertai dengan adanya peningkatan aliran darah akan menyebabkan distensi vena-vena kaki dan peningkatan tekanan parsial oksigen di vena. Dengan demikian peran saraf otonom terhadap timbulnya kaki diabetik neuropati dapat disimpulkan sebagai berikut : neuropati otonom akan menyebabkan produksi keringat berkurang, sehingga menyebabkan kulit penderita akan mengalami dehidrasi serta menjadi kering dan pecah-pecah yang memudahkan infeksi, dan selanjutnya timbulnya selullitis ulkus ataupun gangren. Selain itu neuropati otonom akan mengakibatkan penurunan nutrisi jaringan sehingga terjadi perubahn komposisi, fungsi dan keelastisitasannya sehingga daya tahan jaringan lunak kaki akan menurun yang memudahkan terjadinya ulkus.

Gambar 3. Gangren jari kaki.
Distribusi tempat terjadinya kaki diabetik secara anatomik :
1. 50% ulkus pada ibu jari
2. 30% pada ujung plantar metatarsal
3. 10 – 15% pada dorsum kaki
4. 5 – 10% pada pergelangan kaki
5. Lebih dari 10% adalah ulkus multipel
II. 3. Faktor Risiko Terjadinya Kaki Diabetik
Ada 3 alasan mengapa orang diabetes lebih tinggi risikonya mengalami masalah kaki. Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien tidak menyadari bahkan sering mengabaikan luka yang terjadi karena tidak dirasakannya. Luka timbul spontan sering disebabkan karena trauma misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal yang sempit dan bahan yang keras. Mulanya hanya kecil, kemudian meluas dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan menjadi borok dan menimbulkan bau yang disebut gas gangren. Jika tidak dilakukan perawatan akan sampai ke tulang yang mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis). Upaya yang dilakukan untuk mencegah perluasan infeksi terpaksa harus dilakukan amputasi (pemotongan tulang).
Kedua, sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel pembuluh darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya, perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosi/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan amputasi.
Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenarasi dari serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus ulkus/gangren diabetes, kaki DM 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembanguya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak.
Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita diabetes lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel darah putih ‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar gula darah (KGD) diatas 200 mg%. Kemampuan ini pulih kembali bila KGD menjadi normal dan terkontrol baik. Infeksi ini harus dianggap serius karena penyebaran kuman akan menambah persoalan baru pada borok. Kuman pada borok akan berkembang cepat ke seluruh tubuh melalui aliran darah yang bisa berakibat fatal, ini yang disebut sepsis (kondisi gawat darurat).
Sejumlah peristiwa yang dapat mengawali kerusakan kaki pada penderita diabetes sehingga meningkatkan risiko kerusakan jaringan antara lain :
o    Luka kecelakaan
o    Trauma sepatu
o    Stress berulang
o    Trauma panas
o    Iatrogenik
o    Oklusi vaskular
o    Kondisi kulit atau kuku
Faktor risiko demografis
o    Usia
Semakin tua semakin berisiko
o    Jenis kelamin
Laki-laki dua kali lebih tinggi. Mekanisme perbedaan jenis kelamin tidak jelas – mungkin dari perilaku, mungkin juga dari psikologis
o    Etnik
Beberapa kelompok etnik secara signifikan berisiko lebih besar terhadap komplikasi kaki. Mekanismenya tidak jelas, bisa dari faktor perilaku, psikologis, atau berhubungan dengan status sosial ekonomi, atau transportasi menuju klinik terdekat.
o    Situasi sosial
Hidup sendiri dua kali lebih tinggi
Faktor risiko perilaku
Ketrampilan manajemen diri sendiri sangat berkaitan dengan adanya komplikasi kaki diabetik. Ini berhubungan dengan perhatian terhadap kerentanan.
Faktor risiko lain
•    Ulserasi terdahulu (inilah faktor risiko paling utama dari ulkus)
•    Berat badan
•    Merokok

II.4 KLASIFIKASI KAKI DIABTES
    Suatu klasifikasi yang mutakhir yang di kemukakan oleh International Working Group On Diabetic Foot (klasifikasi PEDIS)
Dengan klasifikasi pedis akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, atau neuropati, sehingga arah pengelolaan pun dapat terjuju dengan lebih baik. Misalnya suatu ulcus ganggren dengan critical limb ischemia (P3) tentu lebih memerlukan tindakan dan mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularisasinya terlebih dahulu. Sebaliknya jika faktor infeksi yang menonjol (I4), tentu pemberian antibiotik harus adekuat.
Menurut Wagner kaki diabetik dibagi menjadi :
1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan pembentukan kalus ”claw”
2. Derajat I : ulkus superfisial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus dalam dan menembus tendon dan tulang
4. Derajat III : abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis
5. Derajat IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa  selullitis
6. Derajat V : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah

Gambar 4. Kaki Diabetik derajat V. 5
Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :
1. Derajat 0     : perawatan lokal secara khusus tidak ada
2. Derajat I-IV     : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
3. Derajat V     : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkandengan tindakan   bedah mayor seperti amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut
Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :
1. Insisi : abses atau selullitis yang luas
2. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II
3. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V
4. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V
5. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

Gambar 5. Kaki Diabetik derajat V.   
II.5 PENGELOLAAN KAKI DIABETES
    PENCEGAHAN
    Pencegahan kaki diabetes tidak terlepas dari pengendalian (pengontrolan) penyakit secara umum mencakup pengendalian kadar gula darah, status gizi, tekanan darah, kadar kolesterol, pola hidup sehat. Sedang untuk pencegahan dan perawatan lokal pada kaki sebagai berikut:
1. Diagnosis klinis dan laboratorium yang lebih teliti.
2. Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah, maupun untuk menghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.
3. Pemberian penyuluhan pada penderita dan keluarga tentang (apakah DM, penatalaksanaan DM secara umum, apakah kaki diabetes, obat-obatan, perencanaan makan, DM dan kegiatan jasmani), dll.
4. Kaki diabetes, materi penyuluhan dan instruksi. Hentikan merokok Periksa kaki dan celah kaki setiap hari, apakah terdapat kalus (pengerasan), bula (gelembung), luka, lecet.
5. Bersihkan dan cuci kaki setiap hari, keringkan, terutama di celah jari kaki.
6. Pakailah krim khusus untuk kulit kering, tapi jangan dipakai di celah jari kaki.
7. Hindari penggunaan air panas atau bantal pemanas.
8. Memotong kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam.
9. Pakailah kaus kaki yang pas bila kaki terasa dingin dan ganti setiap hari.
10. Jangan berjalan tanpa alas kaki.
11. Hindari trauma berulang.
12. Memakai sepatu dari kulit yang sesuai untuk kaki dan nyaman dipakai.
13. Periksa bagian dalam sepatu setiap hari sebelum memakainya, hindari adanya benda asing.
14. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
15. Menghindari pemakaian obat yang bersifat vasokonstruktor seperti orgat, adrenalin, ataupun nikotin.
16. Periksakan diri secara rutin ke dokter dan periksakan kaki setiap kali kontrol walaupun ulkus/gangren telah sembuh.

MODIFIKASI FAKTOR RESIKO
    Stop Merokok
    Memperbaiki berbagai faktor resiko terkait aterosklerosis
•    Hiperglikemia
•    Hipertensi
•    Dislipidemia
    Walking program – latihan kaki merupakan domain usaha yang dapat diisi oleh jajaran rehabilitasi medik.
    TERAPI FARMAKOLOGIS
Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan hipotensif bila membutuhkan. Antibiotikpun diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/dikloksasilin dan golongan aktif seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob.
Prinsip terapi bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik untuk maskud eliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Terdiri dari tindakan bedah kecil seperti insisi dan penaliran abses, debridemen dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang tepat.
Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah terjadinya luka, jangan membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut. Segeralah ke dokter bila kaki luka atau berkurang rasa.
 BAB III
KESIMPULAN

1.    Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi DM yang paling ditakuti dengan gejala dan tanda : Sering kesemutan/gringgingan (asmiptomatus), Jarak tampak menjadi lebih pendek (klaudilasio intermil), Nyeri saat istirahat, Kerusakan jaringan (necrosis, ulkus).
2.    Terdapat tiga factor sebagai latar belakang /yang berperan untuk terjadinya KD yaitu : angiopati,neuropati, dan infeksi.
3.    Suatu klasifikasi yang mutakhir yang di kemukakan oleh International Working Group On Diabetic Foot (klasifikasi PEDIS = Perfusion,Extend, Depth, Infection, Sensation). Menurut Wagner kaki diabetik diklasifikasikan menjadi 5 derajat.
4.    Pencegahan kaki diabetes tidak terlepas dari pengendalian (pengontrolan) penyakit secara umum mencakup pengendalian kadar gula darah, status gizi, tekanan darah, kadar kolesterol, pola hidup sehat. Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan hipotensif bila membutuhkan. 
5.    Prinsip terapi bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik untuk maskud eliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh.

DAFTAR PUSTAKA
1.    Waspadi, S. Kaki Diabetes. Dalam : Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam ed. V, Jakarta; 2009. 1961 – 66
2.     Guyton&Hall. Insulin,Glukagon,dan Diabetes Mellitus. Dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Arthur C Guyton, John E Hall, Edisi 9, Jakarta : EGC; 1997; 78 : 1234-1236
3.    Mayfield JA, Reiber E, Sanders LJ, Janisse D, Pogach LM. Preventive foot care in people with diabetes. 1998. http://www.gensurg.co.uk/diabetic%20foot%20-%20treatment.htm.
Diakses tanggal 19 Juni 2012.
4.    Wibowo, EW. Kiat Merawat Kaki Diabetes. 2004. http://www.waspada.co.id/cetak/index.php?article_id=37246.
 Diakses tanggal 27 Juni 2007.

GANGGUAN KEPRIBADIAN OBSESIF KOMPULSIF

GANGGUAN KEPRIBADIAN OBSESIF KOMPULSIF

 I. PENDAHULUAN

Gangguan obsesif-kompulsif digambarkan sebagai pikiran dan tindakan yang berulang yang menghabiskan waktu yang menyebabkan distress dan hendaya yang bermakna.1

Obsesi adalah aktivitas mental seperti pikiran, perasaan, ide, impuls yang berulang. Sedangkan kompulsi adalah pola perilaku tertentu yang berulang dan disadari seperti menghitung, memeriksa, dan menghindar. Tindakan kompulsi merupakan usaha untuk meredakan kecemasan yang berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil meredakan ketegangan. Pasien dengan gangguan ini menyadari bahwa pengalaman obsesi dan kompulsi tidak beralasan sehingga bersifat egodistonik.  1

 II. EPIDEMIOLOGI

Pravelensi gangguan kepribadian obsesif kompulsif tidak diketahui. Keadaan ini lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita dan didiagnosis paling sering pada pada anak tertua. Gangguan juga lebih sering terjadi pada sanak saudara biologis derajat pertama dari orang dengan gangguan tersebut dibanding dengan populasi umum. Pasien sering memiliki latar belakang yang ditandai oleh disiplin yang keras. Freud menghipotesiskan bahwa gangguan ini berhubungan dengan kesulitan pada stadium anal dari perkembangan psikoseksual, biasanya di sekitar usia 2 tahun. Tetapi, pada berbagai penelitian teori tersebut belum disahkan.2

Sebagian besar gangguan dialami pada saat remaja atau dewasa muda dengan umur berkisar 18 hingga 24 tahun, tapi bisa terjadi pada masa kanak.1

 III. ETIOLOGI

1.      Faktor biologi

Neurotransmitter

a)      Sistem serotonergik

Banyak uji klinis obat yang telah dilakukan untuk mendukung hipotesis bahwa disregulasi serotonin terlibat dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi dalam gangguan ini. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lainnya, tetapi keterlibatan serotonin sebagai  penyebab OCD belum jelas. Studi klinis telah menganalisis konsentrasi metabolit serotonin (misalnya, 5-hydroxyindoleacetic asam [5-HIAA]) dalam cerebrospinal fluid (CSF) serta afinitas dan jumlah ikatan trombosit dari imipramine yang telah dititrasi (Tofranil), yang berikatan dengan reuptake serotonin, dan melaporkan temuan pada pasien dengan OCD. 1

b)      Sistem noradrenergik

Saat ini, ada sedikit bukti yang ada untuk disfungsi dalam sistem noradrenergik pada OCD. Laporan yang tidak resmi menunjukkan beberapa perbaikan dalam gejala OCD dengan penggunaan clonidine oral (Catapres), obat yang mengurangi jumlah norepinefrin dilepaskan dari ujung saraf presynaptic.1

2.      Faktor Perilaku

Menurut ahli teori pembelajaran, obsesi adalah stimulus yang dipelajari. Sebuah stimulus yang relatif netral dikaitkan dengan rasa takut atau kecemasan melalui proses pembelajaran responden, yaitu dengan memasangkan stimulus netral dengan peristiwa berbahaya atau menimbulkan kecemasan. Dengan demikian, objek dan pikiran yang sebelumnya netral mampu mencetuskan kecemasan atau ketidaknyamanan.

Kompulsi yang dibentuk dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menemukan bahwa beberapa tindakan dapat mengurangi kecemasan yang melekat pada pikiran obsesif. 1

IV. GAMBARAN KLINIS

Orang dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki preokupasi akan peraturan, keteraturan, kerapian, rincian, dan pencapaian kesempurnaan. Ciri ini menyebabkan penyempitan umum keseluruhan kepribadian. Mereka bersikeras bahwa peraturan harus dikuti  dengan patuh dan tidak dapatv menoleransi apa yang mereka rasakan sebagai pelanggaran. Demikian juga, mereka tidak memiliki fleksibilitas serta tidak toleran. Mereka mampu bekerja lama, rutin, dan tidak memerlukan perubahan yang tidak dapat mereka adaptasi.3

Orang dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki keterampilan intrapersonal yang terbatas. Mereka mengasingkan orang lain, tidak mampu untuk berkompromi, dan memaksakan supaya ornag lain tunduk pada kebutuhan mereka, dan mereka tidak memiliki sifat humor. Meskipun demikian, mereka ingin menyenangkan orang yang mereka lihat lebih berkuasa dibandingkan diri mereka sendiri. Sesuatu yang mengancam merusak rutinitas kehidupan pasien atau stabilitas mereka dapat mencetuskan kecemasan yang berat yang terjalin dalam ritual yang mereka tetapkan pada kehidupan mereka sendiri dan dicoba untuk ditetapkan pada orang lain.2,3

Dalam sebuah studi oleh Baer pada tahun 1994, gejala OCD dibagi menjadi  tiga kelompok:4

    obsesi simetri dan akurasi sangat berkorelasi dengan perintah dan dorongan dengan sedikit pengulangan dan akumulasi ritual – namun obsesi penimbunan yang lemah berhubungan dengan obsesi dengan simetri sangat berhubungan dengan akumulasi dorongan sedikit dan pemesanan ritual.
    Obsesi kontaminasi dengan dorongan pembersihan yang berkorelasi, seperti yang diharapkan tapi mengejutkan. Mengingat perbedaan klinis antara pembersih dan wanita, obsesi ini juga sedikit berkorelasi dengan kinerja ritual;
    Seksual dan obsesi agama agak berkorelasi, dan dalam kelompok dengan obsesi agresif.

V. DIAGNOSIS

Pedoman diagnostik berdasarkan PPGDJ-III :5

    Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya  2 minggu berturut-turut.
    Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menganggu aktivitas penderita.
    Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:

a)      Harus disadari  sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;

b)      Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.

c)      Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan untuk merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas);

d)     Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenagkan (unpleasantly repetitive).

    Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. Penderita  gangguan obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresifnya.

Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara parallel dengan perubahan gejala obsesif.

Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dulu.

Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakan hanya bila tidak ada gangguan depresi pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.

Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang pirmer.

Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.

    Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organic, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.

            Adapun kriteria diagnostic OCD yang lain adalah DSM-IV-TR yang memungkinkan klinisi merinci apakah pasien memiliki OCD tipe tilikan yang buruk jika mereka umumnya tidak menyadari obsesi dan kompulsinya berlebihan.: 1

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Obsesif Kompulsif :

    Salah satu obsesi atau kompulsif

Obsesi didefinisikan sebagai berikut :

    Pikiran, impuls atau bayangan yang pernah dialami yang berulang dan menetap yang intrusive dan tidak serasi, yang menyebabkan ansietas dan distress, yang selama periode gangguan.
    Pikiran, impuls atau bayangan bukan ketakutan terhadap problem kehidupan yang nyata.
    Indvidu berusaha untuk mengabaikan dan menekan pikiran, impuls atau bayangan atau menetralisir dengan pikiran lain dan tindakan.
    Individu menyadari bahwa pikiran, impuls, bayangan yang berulang berasal dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan factor luar atau pikiran yang disisipkan)

Kompulsi didefinisikan oleh (1) dan (2) :

    Perilaku yang berulang (misalnya: cuci tangan, mengecek) atau aktifitas mental (berdoa, menghitung, mengulang kata tanpa suara) yang individu merasa terdorong melakukan dalam respon dari obsesinya, atau sesuai aturan yang dilakukan secara kaku.
    Prilaku atau aktifitas mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan distress atau mencegah kejadian atau situasi; walaupun perilaku atau aktifitas mental tidak berhubungan dengan cara realistic untuk mencegah atau menetralisir.
    Pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit, individu menyadai bahwa obsesi dan kompulsi berlebihan dan tidak beralasan. Catatan:  keadaan ini tidak berlaku pada anak.
    Obsesi dan kompulsi menyebakan distress, menghabiskan waktu (membutuhkan waktu lebih dari satu jam perhari) atau menganggu kebiasaan, fungsi pekerjaan atau akademik atau aktifitas social.
    Bila ada gangguan lain pada aksis I, isi dari obsesi dan kompulsi tidak terkait dengan gangguan tersebut.
    Gangguan tidak disebabkan efek langsung dari penggunaan zat (misalnya penyalahgunaan zat,obat) atau kondisi medis umum.

Dengan tilikan buruk: jika untuk sepanjang episode individu tidak menyadari bahwa obsesi dan kompulsinya berat dan tidak beralasan.

VI. DIAGNOSIS BANDING

-          Keadaan Medis

Persyaratan diagnostic DSM-IV-TR pada distres pribadi dan gangguan fungsional membedakan OCD dengan pikiran dan kebiasaan yang sedikit berlebihan atau biasa.  Gangguan neurologis utama dipertimbangkan dan diagnosis banding adalah gangguan Tourette, gangguan “tic” lainnya, epilepsy lobus termporalis dan kadang-kadang-kadang trauma serta komplikasi pascaensefalitis. 3

-          Gangguan Tourette

Gejala khas gangguan Tourette adalah tik motorik dan vocal yang sering terjadi gejala bahkan setiap hari. Gangguan Tourete dan OCD memiliki awitan dan gejala yang serupa. Sekitar 90 peresen orang dengan gangguan Tourette memiliki gejala kompulsif dan sebanyak dua pertiga memenuhi kriteria diagnostik OCD.3

-          Keadaan Psikiatri lain

Keadaan psikiatri lain yang dapat terkait erat dengan OCD adalah hipokondriasi, gangguan dismorfik tubuh, dan mungkin gangguan pengendalian impuls lain, seperti kleptomania dan judi patlogis. Pada semua gangguan ini, pasien memiliki berulang (contohnya kepedulian akan tubuh) atau perilaku berulang (contohnya mencuri). 3

VII. PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS

Perjalanan gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah bervariasi dan tidak dapat diramalkan. Dari waktu ke waktu, obsesi atau kompulsi dapat berkembang dalam perjalanan gangguan kepribadian. Beberapa remaja dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif berkembang menjadi orang dewasa yang hangat, terbuka, dan ramah; pada yang lainnya, gangguan ini dapat menjadi penanda skizofrenia atau beberapa dekade kemudian dan diperburuk oleh proses penuaan – gangguan depresi berat.3

             Orang dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif dapat bekerja dengan baik dalam posisi yang membutuhkan pekerjaan metodologis, deduktif, atau terperinci, tetapi mereka rentan terhadap perubahan yang tidak diharapkan, dan  kehidupan pribadi mereka tetap gersang. Gangguan depresif, terutama dengan onset yang lanjut, lazim terjadi.3

Indikasi prognosis buruk adalah: kompulsi yang diikuti, awitan masa kanak, kompulsi yang bizzare, memerlukan perawatan rumah sakit, ada komorbiditas dengan gangguan depresi, adanya kepercayaan yang mengarah ke waham dan adanya gangguan kepribadian ( terutama kepribadian skizotipal ). Inidkasi adanya prognosis yang baik adalah: adanya penyesuaian sosial dan pekerjaan yang baik, adanya peristiwa yang menjadi pencetus, gejala yang episodik.1

VIII. TERAPI

Psikoterapi

Tidak seperti pasien dnegan gangguan kepribadian lain, pasien dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif sering menyadari enderitaan mereka, dan mereka mencari terapi sendiri. Karna dilatih dan siisolasikan secara berlebihan, pasien ini sangat menghargai asosiasi bebas dan terapi yang tidak mengarahkan. Meskipun demikian, terapinya lam dan rumit, seta masalah transferensi balik dapat terjadi.3

Farmakologi

Clonazepam (klonopin) adalah suatu benzodiazepin dengan antikonvulsan; pemakaian obat ini telah menurunkan gejala pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif parah. Kegunaannya pada gangguan kepribadian osesif kompulsif tidak diketahui. Clomipramine (Anafranil) dan obat seretonergik tertentu seperti fluoxetine, biasanya dengan dosis 60 – 80 mg per hari dapat berguna jika tanda dan gejala obsesif kompulsif mencuat. Campuran selective serotonin reuptake inhibitor  (SSRI) dengan agonis serotonin seperti nefazodone (serzone) dapat berguna.3 

Terapi Perilaku

Terapi kelompok dan perilaku kadang-kadang memberikan keuntungan tertentu. Pada kedua konteks, mudah untuk mengganggu pasien dipertengahan interaksi atau penjelasan maladiktifnya. Pencegahan perilaku kebiasaanya membangkitkan ansietas dan membuat mereka rentan untuk mempelajari strategi  yang baru. Pasien juga dapat menerima hadiah langsung untuk perubahannya di dalam terapi kelompok, sesuatu yang kurang memungkinkan dalam terapi individual.3

IX. KESIMPULAN

Obsesif kompulsi terbagi atas dua yaitu obsesif dan kompulsi. Sebuah obsesi adalah pikiran berulang dan mengganggu, perasaan,dan ide  Kompulsi adalah perilaku yang berulang, disengaja atau tindakan mental orang yang merasa dipaksa untuk melakukan, biasanya dengan sebuah keinginan untuk melawan (misalnya mencuci tangan). Diantara orang dewasa, laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung terkena, tetapi diantara remaja, laki-laki lebih lazim terkena daripada perempuan. Usia rerata awitan sekitar 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki usia sedikit lebih awal (laki-laki sekitar 19 tahun) daripada perempuan (sekitar 22 tahun).. Etiologi gangguan obsesif-kompulsif yaitu factor biologi (Neurotransmitter: Sistem noradrenergik dan Sistem serotonergik) dan faktor perilaku. Obsesi atau kompulsi merupakan ego-alien; yaitu dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pengalaman diri sebagai makhluk psikologis. Tidak peduli sedemikian kuat dan memaksanya obsesi atau kompulsi, orang tersebut biasanya mengenalinya sebagai sesuatu yang aneh dan tidak rasional. Kadang-kadang pasien terlalu menilai lebih obsesi dan kompulsi. Misalnya, seorang pasien dapat memaksa bahwa kebersihan kompulsif secara moral adalah benar walaupun ia dapat kehilangan pekerjaan karena waktu dihabiskan untuk membersihkan. Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif berdasarkan PPGDJ-III. Terapi dapat berupa psikoterapi suportif, farmakologi, dan terapi perilaku.

DAFTAR PUSTAKA

     Elvira, SD. Hadisukanto, G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2010
    Sadock.BJ, Sadock. VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis Psikatri: Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis, ed7, jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara: 1997
    Sadock.BJ, Sadock. VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis ed. 2. Jakarta: EGC, 2009
    Anonym. Symptom of OCD- Stanford university. Available from : www.ocd.stanford.edu
    Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPGDJ-III. Jakarta:2003




my foto


empiema



BAB I
PENDAHULUAN


Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks. 

Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema paling banyak ditemukan pada anak usia 2 – 9 tahun. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma tembus dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena pemasangan chest tube. Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di bawah paru (abses subfrenikus) juga dapat meluas ke rongga pleura dan menyebabkan empiema. Demam tinggi sering ditemui, sama seperti gejala pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan kelemahan. Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.

Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno. Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi. sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William Osler,mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya yakni insisi dan penyaliran.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Anatomi dan Fisiologi Pleura
Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan merupakan 55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan bawah). Pada lobus atas paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang merupakan analog dari lobus tengah paru kanan. Paru mengalami perkembangan yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta alveoli ; jumlah ini bertambah menjadi 300 juta setelah dewasa.
Pertumbuhan paling sering terjadi saat usia 8 tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun. Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit, di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik, lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfa, menempel kuat pada jaringan paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura. Pleura parietalis jaringannya lebih tebal terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh limfa dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya, berfungsi untuk memproduksi cairan pleura.
Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar  9 mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah sebagai berikut :
1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)
2. Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)
3. Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)
4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)
 
Gambar 2.1 rongga pleura normal

2.2     Defenisi Empiema
Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi purulen atau keruh. Pada empiema terdapat cairan pleura yang mana pada kultur dijumpai bakteri atau sel darah putih > 15.000 / mm3 dan protein > 3 gr/ dL. Suatu keadaan dimana nanah dan cairan dari jaringan yang terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ³ empyein ³ yang artinyamenghasilkan nanah (supurasi). Empyema paling sering digunakan sebagai pengumpulan nanah di dalam rongga di sekitar paru-paru (rongga pleura). Tapi, kadang juga digunakan sebagai pengumpulan nanah di kandung empedu atau rongga pelvic. Empyema di rongga pleural biasanya dikenal dengan empyema thoraks, untuk membedakan dengan empyema di ronggatubuh lain.

Gambar 2.2 Empiema Paru

2.3           Etiologi
Empiema thoraks dapat disebabkan oleh infeksi yang berasal dari paru atau luar paru.
1.      Berasal dari paru
a.       Pneumonia
b.      Abses paru
c.       Adanya fistel pada paru
d.      Bronchiektasis
e.       TB
f.       Infeksi fungidal paru
2.      Infeksi diluar paru
a.       Trauma dari tumor
b.      Pembedahan otak
c.       Thorakocentesis
d.      Subfrenik abses
e.       Abses hati karena amuba
3.      Bakteriologi
a.       Staphylococcus pyogenes; terjadi pada semua umur, sering pada anak.
b.      Streptococcus pyogenes
c.       Bakteri gram negatif
d.      Bakteri anaerob

Sebelum antibiotik berkembang, pneumokokus (Streptococus pneumoniae) dan Streptococus b hemolyticus (Sterptococus pyogenes) adalah penyebab empiema yang terbesar di bandingkan sekarang. Basil gram negatif seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Proteus species dan Klebsiella pneumoniae merupakan grup yang terbesar dan hampir 30 % dijumpai pada hasil isolasi setelah berkurangnya kejadian empiema sebagai komplikasi pneumonia pneumokokus. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena yang jelas ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen (empiema) hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia.
Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab infeksi yang paling sering menyebabkan empiema pada anak-anak, terutama pada bayi sekitar 92 % empiema pada anak-anak di bawah 2 tahun. Bakteri gram negatif yang lain Haemophilus influenzae adalah penyebab empiema pada anak-anak.
Empiema juga dapat disebabkan organisme yang lain seperti empiema tuberkulosis yang sekarang jarang dijumpai pada negara berkembang. Empiema jarang disebabkan oleh jamur, terutama pada penderita yang mengalami penurunan daya tahan tubuh (Immunocompromised). Aspergillus species dapat menginfeksi rongga pleura dan dapat menyebabkan empiema dan ini terkadang terjadi pada penderita yang mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan pleura yang serius walaupun jarang.

2.4    klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya empyema thoraks dapat dibagi dua :
Ø  Empyema akut
Terjadi sekunder akibat infeksi ditempat lain. Terjadinya peradangan akut yang diikuti pembentukan eksudat
Ø  Empyema kronis
Batas tegas antara empyema akut dan kronis sukar ditentukan. Empyema disebut kronis, bila prosesnya berlangsung lebih dari 3 bulan
Sedangkan, the American thoracis society membagi empyema thoraks menjadi tiga : 
Ø  Eksudat
Dimana cairan pleura yang steril di dalm rongga pleura merespons proses inflamasi di pleura
Ø  Fibropurulen
Cairan pleura menjadi lebih kental dan fibrin tumbuh di perrmukaan pleura yang bisamelokulasi pus dan secara perlahan-lahan membatasi gerak dari paru.
Ø  Organisasi
Kantong-kantong nanah yang terlokulasi akhirnya dapat mengembang menjadi ronggaabses berdinding tebal, atau sebagai eksudat yang berorganisasi, paru dapat kolaps. Dandikelilingi oleh bungkusan tebal, tidak elastic.

2.5           Patogenesis
Empiema dapat terjadi akibat traumatik atau non traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi paru. Aspirasi pneumonia membentuk suatu subgrup yang penting dan jumlah penderita yang alkoholik. Obstruksi bronkus seperti pada kanker paru atau terhisap benda asing sering mendasari proses pneumonia penyakit paru supuratif seperti bronkiektase atau abses paru yang merupakan penyebab yang jarang dibandingkan pneumonia.
Penderita dengan penyakit reumatik secara khusus mudah terkena. Trauma pembedahan merupakan penyebab kedua yang paling sering setelah infeksi paru. Kelompok ini termasuk akibat instrumen-instrumen bedah, rupturnya esofagus, bocornya anastomosis esofagus dan fistula bronkopleural yang diikuti dengan pneumonektomi. Organisme-organisme dapat juga masuk melalui aspirasi pleura dari efusi atau melalui pipa drain dari efusi.
Infeksi adalah komplikasi yang paling sering terjadi. Sumber infeksi yang paling jarang termasuk sepsis abdomen, yang mana pertama sekali dapat membentuk abses subfrenik sebelum menyebar ke rongga pleura melalui aliran getah bening. Abses hati yang disebabkan Entamoeba histolytica mungkin juga terlibat dan infeksi pada faring, tulang toraks atau dinding toraks dapat menyebar ke pleura, baik secara langsung maupun melalui jaringan mediastinum.

2.6           Patofisiologi  
Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu :
 1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

Gambar 2.3 Patofisiologi Empiema
Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan pleura dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan membran mesotelial akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi dini tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus berkembang menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam ruang pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan terjadi fibrotoraks. Mekanisme yang pasti terjadinya fibrosis belum sepenuhnya dimengerti.

Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh saluran limfa yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau penurunan resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada ruang pleura. Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan pemeriksaan radiografi mungkin bisa membedakan jenis-jenis cairan pleura. Pleurosentesis dapat dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna jernih, kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung. Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat dapat berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi paru atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker paru dan penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau rheumatoid arthritis. Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut kostofrenikus, pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang diafragma dan dada terisi dengan gambaran opak. Dimana selama volume cairan terus bertambah maka secara bertahap akan semakin luas dan paru mengalami perselubungan. jika tidak ditemukan kepastian antara cairan atau sisa infeksi pleura yang mengalami pengentalan maka dapat diperjelas dengan pengambilan film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila cairan maka akan mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat terkumpul dalam kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan menghasilkan pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial. Hal ini mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi hubungan antara pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat menembus pleura viseral dan terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi pada paru menembus pleura.
2.7           Diagnosis
2.7.1 Gejala klinis :
ü  Sering dijumpai demam
ü  Malaise dan kehilangan berat badan pada empiema kronis
ü  Penderita sering mengeluh adanya nyeri pleura (Pleuritic pain)
ü  Dispnu dapat disebabkan akibat kompresi atau penekanan pada paru-paru oleh cairan empiema
ü  Batuk sering dijumpai dan adanya fistula bronkopleural yang disertai dengan sputum yang purulen yang dapat dibatukkan.
2.7.2 Pemeriksaan fisik :
Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan bronkial, normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi jelas terlihat. Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara pernapasan vesikular, yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial yang terdengar pada paru perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura. Menurunnya suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura. Temuan yang didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara pernafasan, dan melemah sampai menghilangnya suara pernafasan, dapat membantu menemukan patologi intratoraks.
Pergerakan dada yang asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi pleura. Pada pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan umum, laju pernapasan, warna, pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang terdengar, dan usaha bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma dengan sedikit bantuan dari otot otot dada. Selain melihat gerak pernapasan, juga penting untuk menilai adakah retraksi ( chest indrawing ) yang merupakan indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun oleh WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit untuk melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah dikatakan sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih kasar daripada pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari saluran napas atas yang diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat beberapa petunjuk yang berguna, suara napas dari saluran napas atas cenderung kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada dan semakin menguat saat stetoskop digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar kasar. Suara pernapasan saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang patologis dan sering asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi.
2.8    Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 pemeriksaan Radiologi
ü  Cairan pleura bebas dapat terlihat sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada posisi posteroanterior atau lateral.
ü  Dijumpai gambaran yang homogen pada daerah posterolateral dengan gambaran opak yang konveks pada bagian anterior yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin disebabkan oleh obliterasi sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran posteroanterior.
ü  Organ-organ mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
ü  Air-fluid level dapat dijumpai jika disertai dengan pneumotoraks, fistula bronkopleural.

Gambar 2.4 Radiologi Empiema Paru
2.8.2 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
ü  Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
ü  Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan pipa drain.

2.8.3 Pemeriksaan CT scan
ü  Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.
ü  Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scn.

2.9         Penatalaksanaan
Penanganan tergantung dari penyebab efusi dan bertujuan untuk mengurangi penumpukan cairan. Untuk efusi yang sedikit, khususnya jika jenisnya adalah transudat, tidak diperlukan drainase. Untuk efusi yang banyak, diperlukan drainase dengan chest tube, khususnya jika cairannya purulen ( empiema ). Pada kasus yang lain, cairan sering terjadi pengentalan dan terlokalisasi sehingga membuat proses drainase menjadi sulit. Untuk itu, chest tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan adanya empiema dari torakosentesis. Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia dimana drainase dipersulit dengan pengumpulan cairan yang terlokulasi maka video-assisted thoracoscopic surgical débridement dapat membantu menurunkan morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah sakit. Banyak kasus efusi parapneumonia dapat ditangani secara konservatif dengan pemberian antibiotika intravena. Anak sehat yang menderita empiema masih dapat berespons dengan pemberian antibiotika selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest tube. Pada kebanyakan kasus, proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan debridemen torakoskopi pada ruang pleura yang terkena infeksi dan terdapat lapisan fibrin sehingga dapat mencegah penyebaran menyeluruh pada banyak kasus. Jika penyebabnya sudah berhasil ditangani maka akan berprognosis baik. Bila seorang anak dengan pneumonia tidak berespons dengan pemberian antibiotika dalam beberapa hari maka dapat dilakukan radiografi dada posisi dekubitus atau CT scan untuk membantu penegakan diagnosis.
2.9.1   Algoritma penanganan empiema
Stadium 1. Drainase dengan torakostomi , antibiotika spektrum luas
Stadium 2. Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dengan antibiotika spektrum luas. Drainase dengan torakostomi disertai antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis, bila gagal maka dilakukan VATS.
Stadium 3. VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas, atau Torakotomi terbuka dengan antibiotika spektrum luas.

Penanganan dengan antibiotika sebaiknya ditujukan pada stafilokokus yang resisten penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi oksasilin (untuk perlindungan terhadap S. aureus) dan sefotaksim (untuk perlindungan terhadap S. pneumoniae) sering digunakan. Pada daerah dengan insiden bakteri stafilokokus resisten terhadap metisilin yang tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan klindamisin. Jika cairan pleura berbau busuk, sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri anaerob sebagai penyebabnya dan diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol. Pemberian streptokinase intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema stadium 1 dan sadium 2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase dan penurunan gejala demam dan gejala pernapasan, selain itu penanganan dengan fibrinolitik dapat dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini. Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis, torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan torakotomi standar dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru). Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak. Berlawanan dengan penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada pederita dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir ini oleh British Thoracic Society guidelines for the treatment of pleural space infection in children merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk menangani efusi parapneumonia dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran fibrous) atau empiema dan dengan tindakan bedah pada penderita yang tidak responsif terhadap fibrinolitik.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi adalah :

ü  Fibrosis pleura
ü  Kolaps paru akibat penekanan cairan pada paru-paru
ü  Panyakit paru restriktif
ü  Pergeseran organ-organ mediastinum
ü  Piopneumotoraks

2.11 Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh umur, panyakit dasarnya dari pengobatan permulaan yang adekuat. Angka kematian meningkat pada umur tua, penyakit dasar yang berat dan pengobatan yang terlambat.






















BAB III
KESIMPULAN
1.      Empiema merupakan komplikasi yang paling sering dari pneumonia pneumokokus, yang
2.      terjadi sekitar 2 % dari semua kasus. Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi purulen atau keruh. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ³ empyein ³ yang artinyamenghasilkan nanah (supurasi).

3.      Etiologi empiema bisa disebabkan dari dalam paru, luar paru dan bakteriologi. Pneumokokus (Streptococus pneumoniae) dan Streptococus b hemolyticus (Sterptococus pyogenes) adalah penyebab empiema yang terbesar.
4.      Empiema dapat terjadi akibat traumatik atau non traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi paru. Empiema dapat terjadi akibat traumatik atau non traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi paru.
5.      Empiema terbagi dalam 3 stadium : 1. Disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut; 2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional; 3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik).
6.      Untuk menegakkan diagnosa empiema dapat diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan USG, dan pemeriksaan CT scan.

7.      Pengobatan empiema dapat dilakukan dengan pengambilan nanah, antibiotika, penutupan rongga empiema dan pengobatan kausal.
















DAFTAR PUSTAKA

1.      Seaton A. Crofton and Douglas’s Respiratiry Diseases, 5th Edition, Volume II, by Blackwell Science Ltd, Osney Mead, Okford copyright©2000.
2.      Sarwono Waspadji : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996.
3.      Amin M. Alsagaff H. Saleh T. Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press 1998.
4.      Soemantri I. Sistem Pernafasan. Buku KEPERAWATAN Medikal Bedah. Selemba Medika. Jakarta, 2007.
5.      Tarigan SP : Pola Kuman Dan Uji Kepekaan Dari Empiema di RSUP H.Adam Malik Medan. USU e-Repository. 2008