BAB I
PENDAHULUAN
Empiema merupakan salah satu
penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat ini terdapat 6500 penderita
di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi parapneumonia tiap tahun, dengan
mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta
dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks.
Empiema toraks didefinisikan sebagai
suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang
kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang
disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan
inokulasi bakteri. Empiema paling banyak ditemukan pada anak usia 2 – 9 tahun.
Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya
(ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini
berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel
polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan
(fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan
tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring
dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan
memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan
parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan
yang permanen. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru
(pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru.
Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma
tembus dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena
pemasangan chest tube. Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat
di bawah paru (abses subfrenikus) juga dapat meluas ke rongga pleura dan
menyebabkan empiema. Demam tinggi sering ditemui, sama seperti gejala pneumonia
yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan kelemahan. Empiema juga
dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis,
tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.
Infeksi ruang pleura turut mengambil
peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno. Aristoteles menemukan
peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan empiema dan
menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi. sebagian
dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan
yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of
Medicine, William Osler,mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani
selayaknya abses pada umumnya yakni insisi dan penyaliran.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura
Paru kanan normalnya
terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan merupakan 55% bagian
paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan bawah). Pada lobus
atas paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang merupakan analog dari
lobus tengah paru kanan. Paru mengalami perkembangan yang hebat, saat lahir,
bayi memiliki 25 juta alveoli ; jumlah ini bertambah menjadi 300 juta setelah
dewasa.
Pertumbuhan paling
sering terjadi saat usia 8 tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun.
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan
parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial,
jaringan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat
tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan
mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan
dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi
sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada
hilus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan
parietalis, diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri permukaan luarnya
terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah
sel ini terdapat sel limfosit, di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat
endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan
tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik, lapisan terbawah
terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah
kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfa, menempel
kuat pada jaringan paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura. Pleura
parietalis jaringannya lebih tebal terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan
ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung
kapiler dari a. intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh limfa dan banyak
reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur.
Keseluruhan berasal n. intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan
dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya, berfungsi
untuk memproduksi cairan pleura.
Volume cairan pleura selalu
konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik sebesar 9 mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis,
serta tekanan koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang selanjutnya akan diabsorbsi
oleh pleura viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah sebagai berikut
:
1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)
2. Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)
3. Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)
4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)
1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)
2. Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)
3. Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)
4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)

Gambar
2.1 rongga pleura normal
2.2 Defenisi
Empiema
Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan
oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi
purulen atau keruh. Pada empiema terdapat cairan pleura yang mana pada kultur
dijumpai bakteri atau sel darah putih > 15.000 / mm3 dan protein
> 3 gr/ dL. Suatu keadaan dimana nanah dan cairan dari jaringan yang
terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Kata ini berasal dari bahasa Yunani
³ empyein ³ yang artinyamenghasilkan nanah (supurasi). Empyema paling sering
digunakan sebagai pengumpulan nanah di dalam rongga di sekitar paru-paru
(rongga pleura). Tapi, kadang juga digunakan sebagai pengumpulan nanah di
kandung empedu atau rongga pelvic. Empyema di rongga pleural biasanya
dikenal dengan empyema thoraks, untuk membedakan dengan empyema di ronggatubuh lain.

Gambar 2.2 Empiema Paru
2.3
Etiologi
Empiema thoraks dapat disebabkan oleh infeksi yang
berasal dari paru atau luar paru.
1.
Berasal dari paru
a. Pneumonia
b. Abses
paru
c. Adanya
fistel pada paru
d. Bronchiektasis
e. TB
f. Infeksi
fungidal paru
2.
Infeksi diluar paru
a. Trauma
dari tumor
b. Pembedahan
otak
c. Thorakocentesis
d. Subfrenik
abses
e. Abses
hati karena amuba
3.
Bakteriologi
a. Staphylococcus pyogenes;
terjadi pada semua umur, sering pada anak.
b.
Streptococcus
pyogenes
c. Bakteri
gram negatif
d. Bakteri
anaerob
Sebelum
antibiotik berkembang, pneumokokus (Streptococus pneumoniae) dan Streptococus
b hemolyticus (Sterptococus pyogenes) adalah penyebab empiema yang
terbesar di bandingkan sekarang. Basil gram negatif seperti Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa, Proteus species dan Klebsiella pneumoniae merupakan
grup yang terbesar dan hampir 30 % dijumpai pada hasil isolasi setelah
berkurangnya kejadian empiema sebagai komplikasi pneumonia pneumokokus. Tuberkulosis
juga menyebabkan empiema terutama pada masyarakat India. Mycobacterium
tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema. Namun pada negara barat
justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang tinggi. Fenomena yang jelas
ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen (empiema)
hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia.
Staphylococcus aureus merupakan
organisme penyebab infeksi yang paling sering menyebabkan empiema pada
anak-anak, terutama pada bayi sekitar 92 % empiema pada anak-anak di bawah 2
tahun. Bakteri gram negatif yang lain Haemophilus influenzae adalah
penyebab empiema pada anak-anak.
Empiema juga dapat disebabkan
organisme yang lain seperti empiema tuberkulosis yang sekarang jarang dijumpai
pada negara berkembang. Empiema jarang disebabkan oleh jamur, terutama pada
penderita yang mengalami penurunan daya tahan tubuh (Immunocompromised).
Aspergillus species dapat menginfeksi rongga pleura dan dapat
menyebabkan empiema dan ini terkadang terjadi pada penderita yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan pleura
yang serius walaupun jarang.
2.4 klasifikasi
Berdasarkan
perjalanan penyakitnya empyema thoraks dapat dibagi dua :
Ø Empyema akut
Terjadi sekunder akibat infeksi
ditempat lain. Terjadinya peradangan akut yang diikuti pembentukan eksudat
Ø Empyema
kronis
Batas tegas antara empyema akut dan
kronis sukar ditentukan. Empyema disebut kronis, bila prosesnya
berlangsung lebih dari 3 bulan
Sedangkan, the American thoracis
society membagi empyema thoraks menjadi tiga :
Ø Eksudat
Dimana cairan pleura yang steril di
dalm rongga pleura merespons proses inflamasi di pleura
Ø Fibropurulen
Cairan pleura menjadi lebih kental
dan fibrin tumbuh di perrmukaan pleura yang bisamelokulasi pus dan secara
perlahan-lahan membatasi gerak dari paru.
Ø Organisasi
Kantong-kantong nanah yang terlokulasi akhirnya dapat
mengembang menjadi ronggaabses berdinding tebal, atau sebagai eksudat yang
berorganisasi, paru dapat kolaps. Dandikelilingi oleh bungkusan tebal, tidak
elastic.
2.5
Patogenesis
Empiema dapat terjadi akibat
traumatik atau non traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi paru.
Aspirasi pneumonia membentuk suatu subgrup yang penting dan jumlah penderita
yang alkoholik. Obstruksi bronkus seperti pada kanker paru atau terhisap benda
asing sering mendasari proses pneumonia penyakit paru supuratif seperti
bronkiektase atau abses paru yang merupakan penyebab yang jarang dibandingkan
pneumonia.
Penderita dengan penyakit reumatik
secara khusus mudah terkena. Trauma pembedahan merupakan penyebab kedua yang
paling sering setelah infeksi paru. Kelompok ini termasuk akibat
instrumen-instrumen bedah, rupturnya esofagus, bocornya anastomosis esofagus
dan fistula bronkopleural yang diikuti dengan pneumonektomi.
Organisme-organisme dapat juga masuk melalui aspirasi pleura dari efusi atau
melalui pipa drain dari efusi.
Infeksi adalah komplikasi yang
paling sering terjadi. Sumber infeksi yang paling jarang termasuk sepsis
abdomen, yang mana pertama sekali dapat membentuk abses subfrenik sebelum
menyebar ke rongga pleura melalui aliran getah bening. Abses hati yang
disebabkan Entamoeba histolytica mungkin juga terlibat dan infeksi pada
faring, tulang toraks atau dinding toraks dapat menyebar ke pleura, baik secara
langsung maupun melalui jaringan mediastinum.
2.6
Patofisiologi
Ada tiga stadium empiema toraks pada
anak yaitu :
1. Stadium 1 disebut juga stadium
eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi.
Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan
cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen
seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72
jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura
mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan
enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal,
drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium
transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan
bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak
leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan
fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi
dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa
menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari
dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube.
3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan
kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi
pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba
torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi
cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi
terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi
selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

Gambar 2.3 Patofisiologi Empiema
Empiema adalah adanya pus dalam
rongga pleura. Penderita dengan efusi parapneumonia yang tanpa disertai
komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan pleura dan fagosit akan
resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan membran mesotelial akan
mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan antibiotika, respons inflamasi
dini tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia
dapat terus berkembang menjadi empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama
empiema terus berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura.
Adanya fibrosis dalam ruang pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling
menyebabkan kelemahan pada penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus
berlanjut akhirnya akan terjadi fibrotoraks. Mekanisme yang pasti terjadinya
fibrosis belum sepenuhnya dimengerti.
Membran pleura menghasilkan cairan
pleura yang kemudian diserap oleh saluran limfa yang terletak pada kedua
lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau penurunan resorpsi cairan akan
menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada ruang pleura. Cairan pleura
dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan
pemeriksaan radiografi mungkin bisa membedakan jenis-jenis cairan pleura.
Pleurosentesis dapat dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan. Transudat
pleura biasanya berwarna jernih, kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab
tersering adalah gagal jantung. Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal,
hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat dapat berwarna kuning kecoklatan
atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi paru atau pleura
lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker paru dan
penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau
rheumatoid arthritis. Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di
sudut kostofrenikus, pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral.
Sepanjang diafragma dan dada terisi dengan gambaran opak. Dimana selama volume
cairan terus bertambah maka secara bertahap akan semakin luas dan paru
mengalami perselubungan. jika tidak ditemukan kepastian antara cairan atau sisa
infeksi pleura yang mengalami pengentalan maka dapat diperjelas dengan
pengambilan film tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila
cairan maka akan mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat
terkumpul dalam kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi
aktif dan menghasilkan pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya
mengalir secara pasif sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju
batas cekung medial. Hal ini mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat
terjadi hubungan antara pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat menembus
pleura viseral dan terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan
cabang bronkial. Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi
pada paru menembus pleura.
2.7
Diagnosis
2.7.1 Gejala klinis :
ü Sering dijumpai
demam
ü Malaise dan
kehilangan berat badan pada empiema kronis
ü Penderita
sering mengeluh adanya nyeri pleura (Pleuritic pain)
ü Dispnu dapat
disebabkan akibat kompresi atau penekanan pada paru-paru oleh cairan empiema
ü Batuk sering
dijumpai dan adanya fistula bronkopleural yang disertai dengan sputum yang
purulen yang dapat dibatukkan.
2.7.2 Pemeriksaan fisik :
Kualitas suara
pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan bronkial, normalnya
didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi jelas
terlihat. Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara
pernapasan vesikular, yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari
ekspirasi. Suara pernapasan bronkial yang terdengar pada paru perifer
diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura. Menurunnya suara
pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk mencurigai
adanya atelektasis, konsolidasi lobaris
(pneumonia) atau efusi pleura. Temuan yang
didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat
adanya deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi,
fremitus, suara pernafasan, dan melemah sampai menghilangnya suara pernafasan,
dapat membantu menemukan patologi intratoraks.
Pergerakan dada yang
asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion seperti efusi pleura.
Pada pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan umum, laju pernapasan,
warna, pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang terdengar, dan usaha
bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma dengan sedikit bantuan
dari otot otot dada. Selain melihat gerak pernapasan, juga penting untuk
menilai adakah retraksi ( chest indrawing ) yang merupakan indikator adanya
penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun oleh WHO. Tipe tipe retraksi :
supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak banyak membantu
pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit untuk melacak
abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah dikatakan
sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih kasar
daripada pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari
saluran napas atas yang diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat
beberapa petunjuk yang berguna, suara napas dari saluran napas atas cenderung
kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada dan semakin menguat saat stetoskop
digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar kasar. Suara pernapasan
saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang patologis dan
sering asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi.
2.8
Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 pemeriksaan Radiologi
ü Cairan
pleura bebas dapat terlihat sebagai gambaran tumpul di sudut kostofrenikus pada
posisi posteroanterior atau lateral.
ü Dijumpai gambaran
yang homogen pada daerah posterolateral dengan gambaran opak yang konveks pada
bagian anterior yang disebut dengan D-shaped shadow yang mungkin
disebabkan oleh obliterasi sudut kostofrenikus ipsilateral pada gambaran
posteroanterior.
ü Organ-organ
mediastinum terlihat terdorong ke sisi yang berlawanan dengan efusi.
ü Air-fluid
level dapat dijumpai jika disertai dengan pneumotoraks, fistula bronkopleural.

Gambar 2.4 Radiologi Empiema Paru
2.8.2 Pemeriksaan
ultrasonografi (USG)
ü Pemeriksaan
dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
ü Pemeriksaan
ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan
aspirasi atau pemasangan pipa drain.
2.8.3 Pemeriksaan CT scan
ü Pemeriksaan
CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.
ü Kadang
dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scn.
2.9
Penatalaksanaan
Penanganan tergantung
dari penyebab efusi dan bertujuan untuk mengurangi penumpukan cairan. Untuk
efusi yang sedikit, khususnya jika jenisnya adalah transudat, tidak diperlukan
drainase. Untuk efusi yang banyak, diperlukan drainase dengan chest tube,
khususnya jika cairannya purulen ( empiema ). Pada kasus yang lain, cairan
sering terjadi pengentalan dan terlokalisasi sehingga membuat proses drainase
menjadi sulit. Untuk itu, chest tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan
adanya empiema dari torakosentesis. Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia
dimana drainase dipersulit dengan pengumpulan cairan yang terlokulasi maka
video-assisted thoracoscopic surgical débridement dapat membantu menurunkan
morbiditas dan lamanya rawat inap di rumah sakit. Banyak kasus efusi
parapneumonia dapat ditangani secara konservatif dengan pemberian antibiotika
intravena. Anak sehat yang menderita empiema masih dapat berespons dengan
pemberian antibiotika selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest tube. Pada
kebanyakan kasus, proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan
debridemen torakoskopi pada ruang pleura yang terkena infeksi dan terdapat
lapisan fibrin sehingga dapat mencegah penyebaran menyeluruh pada banyak kasus.
Jika penyebabnya sudah berhasil ditangani maka akan berprognosis baik. Bila
seorang anak dengan pneumonia tidak berespons dengan pemberian antibiotika
dalam beberapa hari maka dapat dilakukan radiografi dada posisi dekubitus atau
CT scan untuk membantu penegakan diagnosis.
2.9.1
Algoritma penanganan empiema
Stadium 1. Drainase dengan torakostomi , antibiotika
spektrum luas
Stadium 2. Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)
dengan antibiotika spektrum luas. Drainase dengan torakostomi disertai
antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis, bila gagal maka dilakukan
VATS.
Stadium 3. VATS dengan torakotomi disertai antibiotika
spektrum luas, atau Torakotomi terbuka dengan antibiotika spektrum luas.
Penanganan dengan antibiotika
sebaiknya ditujukan pada stafilokokus yang resisten penisilin dan S. pneumoniae
walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan organisme lain
sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus
melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi
oksasilin (untuk perlindungan terhadap S. aureus) dan sefotaksim (untuk
perlindungan terhadap S. pneumoniae) sering digunakan. Pada daerah dengan
insiden bakteri stafilokokus resisten terhadap metisilin yang tinggi, sebaiknya
digunakan vankomisin dan klindamisin. Jika cairan pleura berbau busuk,
sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri anaerob sebagai penyebabnya dan
diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol. Pemberian streptokinase
intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema stadium 1 dan sadium 2.
Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase dan penurunan gejala
demam dan gejala pernapasan, selain itu penanganan dengan fibrinolitik dapat
dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini. Penanganan empiema masih
kontroversial khususnya pada anak anak. Pilihan penanganan mencakup pemberian
antibiotika sistemik saja, torakosentesis, torakostomi dengan menggunakan tuba,
dengan atau tanpa pemberian obat fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah
bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan torakotomi standar dengan dekortikasi
(menyingkirkan bekuan fibrin dari paru). Bagaimanakah memilih terapi tersebut
dan mengapa kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman
terapi pada dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada
anak-anak. Berlawanan dengan penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema
sebelumnya terlihat sehat. Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu
meramalkan terapi invasif pada pederita dewasa seperti level laktat
dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang tenyata semuanya tidak
terlalu berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir ini oleh
British Thoracic Society guidelines for the treatment of pleural space
infection in children merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk
menangani efusi parapneumonia dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran
fibrous) atau empiema dan dengan tindakan bedah pada penderita yang tidak
responsif terhadap fibrinolitik.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah :
ü Fibrosis
pleura
ü Kolaps paru
akibat penekanan cairan pada paru-paru
ü Panyakit
paru restriktif
ü Pergeseran
organ-organ mediastinum
ü Piopneumotoraks
2.11 Prognosis
Prognosis
dipengaruhi oleh umur, panyakit dasarnya dari pengobatan permulaan yang
adekuat. Angka kematian meningkat pada umur tua, penyakit dasar yang berat dan
pengobatan yang terlambat.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Empiema merupakan komplikasi yang
paling sering dari pneumonia pneumokokus, yang
2. terjadi sekitar 2 % dari semua
kasus. Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan oleh infeksi
langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi purulen atau
keruh. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ³ empyein ³ yang artinyamenghasilkan
nanah (supurasi).
3.
Etiologi
empiema bisa disebabkan dari dalam paru, luar paru dan bakteriologi.
Pneumokokus (Streptococus pneumoniae) dan Streptococus b hemolyticus (Sterptococus
pyogenes) adalah penyebab empiema yang terbesar.
4.
Empiema dapat terjadi akibat traumatik atau non
traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi paru. Empiema dapat terjadi
akibat traumatik atau non traumatik. Non traumatik sering disebabkan infeksi
paru.
5.
Empiema
terbagi dalam 3 stadium : 1. Disebut juga stadium eksudatif atau
stadium akut; 2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau
stadium transisional; 3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik).
6. Untuk menegakkan diagnosa empiema
dapat diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis,
pemeriksaan USG, dan pemeriksaan CT scan.
7. Pengobatan empiema dapat dilakukan
dengan pengambilan nanah, antibiotika, penutupan rongga empiema dan pengobatan
kausal.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Seaton
A. Crofton and Douglas’s Respiratiry Diseases, 5th Edition, Volume
II, by Blackwell Science Ltd, Osney Mead, Okford copyright©2000.
2.
Sarwono
Waspadji : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 1996.
3.
Amin
M. Alsagaff H. Saleh T. Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press 1998.
4.
Soemantri
I. Sistem Pernafasan. Buku KEPERAWATAN Medikal Bedah. Selemba Medika. Jakarta,
2007.
5.
Tarigan SP : Pola
Kuman Dan Uji Kepekaan Dari Empiema di RSUP H.Adam Malik Medan. USU
e-Repository. 2008
No comments:
Post a Comment